Menggali Akar Budaya Masyarakat Tangerang Selatan: Identitas “Betawi Ora”, Warisan Tionghoa, dan Jejak Sejarah

Tangerang Selatan (Tangsel), kota satelit yang berkembang pesat di selatan Jakarta, menyimpan akar budaya yang kaya namun belum sepenuhnya tergali. Kisah ini bermula dari seorang mahasiswa seni tari yang menghubungi penulis untuk menggali lebih dalam tentang Blandongan, rumah adat khas Betawi Tangsel yang menjadi simbol kota. Permintaan tersebut menyadarkan bahwa referensi dan kajian budaya lokal Tangsel masih sangat terbatas.

Tulisan ini bertujuan memantik diskusi dan kesadaran tentang pentingnya memahami akar budaya Tangsel sebagai fondasi identitas kota dan arah pembangunannya.

Identitas Budaya “Betawi Ora” di Tengah Kota Modern

Penggunaan Blandongan sebagai logo Kota Tangsel menandakan pengakuan atas budaya Betawi sebagai identitas utama. Namun, masyarakat lokal menyebut diri mereka sebagai “Betawi Ora”—sebuah penanda identitas yang unik.

Kata “ora” sendiri adalah kosakata Jawa untuk “tidak,” namun dalam konteks ini justru menjadi simbol diferensiasi dari Betawi Jakarta.Sebutan ini muncul di berbagai wilayah Tangsel seperti Ciputat, Pamulang, dan Setu.

Secara historis dan sosial, “Betawi Ora” memiliki akar yang kuat di wilayah ini, dengan bahasa, gaya hidup, dan bahkan penamaan tempat yang mencerminkan kebudayaan agraris, seperti Pondok Cabe, Pondok Aren, hingga Pondok Jagung.

Sungai Cisadane dan Batas Budaya Tak Kasat Mata

Sungai Cisadane menjadi batas imajiner antara komunitas Betawi dan masyarakat Sunda. Wilayah timur Cisadane lebih dominan dengan bahasa Sunda, sedangkan wilayah baratnya—yang kini menjadi Tangsel—didominasi oleh komunitas “Betawi Ora.” Kehidupan agraris terlihat dalam aktivitas berkebun dan penamaan kampung yang erat dengan tanaman dan hasil bumi.

Menariknya, budaya “Betawi Ora” tidak berdiri sendiri. Ia bersinggungan erat dengan budaya Cina Benteng—komunitas Tionghoa lokal khas Tangerang yang telah menetap sejak zaman kolonial.

Pengaruh Budaya Cina Benteng di Tengah Komunitas Betawi

Ada indikasi kuat bahwa komunitas “Betawi Ora” memiliki hubungan darah atau kultural dengan Cina Benteng. Bukti-bukti historisnya antara lain:

  • Banyaknya makam Tionghoa di wilayah Tangsel seperti Pamulang dan Ciputat,
  • Keberadaan kelenteng tua di Pamulang dan Serpong,
  • Kemiripan budaya seperti Tari Cokek dan kepercayaan pada dewa kesuburan,
  • Penggunaan sebutan “baba” untuk ayah yang menunjukkan pengaruh budaya Tionghoa.

Relasi ini memperkaya khazanah budaya Tangsel yang tidak hanya bersumber dari Betawi dan Sunda, tetapi juga dari akulturasi Tionghoa lokal.

Tangsel dalam Lintasan Sejarah Perjuangan

Tangerang Selatan juga memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Lengkong, misalnya, merupakan pusat penyebaran Islam dan tempat dimakamkannya Raden Arya Wangsa di Kara. Di Cilenggang, Serpong, juga terdapat makam Tubagus Atief—putra Sultan Ageng Tirtayasa—yang menandai jejak spiritual dan perjuangan di kawasan ini.

Wilayah Tangsel pernah menjadi bagian dari wilayah partikelir perkebunan kolonial, terutama perkebunan karet di tahun 1920-an. Hal ini menjelaskan keterlibatan masyarakat setempat dalam dinamika kolonial dan perlawanan terhadap penjajah, seperti dalam pertempuran melawan NICA dan KNIL tahun 1946 yang menewaskan ratusan warga sipil.

Warisan Politik dan Perubahan Sosial Pasca-Kemerdekaan

Pasca-kemerdekaan, wilayah Tangsel, khususnya Pondok Cabe, tercatat sebagai basis pergerakan Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagaimana terdokumentasi dalam majalah SARBUPRI. Namun, setelah 1965, arus dakwah dari NU dan Muhammadiyah mulai masuk, menandai transformasi sosial dan religius yang signifikan di wilayah ini.

Ciputat sendiri menjadi pusat dakwah melalui kehadiran Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), cikal bakal UIN Jakarta, yang turut membangun masjid dan menyebarkan ajaran Islam ke masyarakat sekitar.

Kesimpulan: Mendorong Diskusi dan Pelestarian Sejarah Lokal

Tulisan ini mengajak kita untuk lebih sadar terhadap kompleksitas budaya Tangsel: dari “Betawi Ora”, pengaruh Cina Benteng, hingga warisan sejarah perjuangan dan kolonialisme. Di balik modernisasi kota, sejarah dan budaya lokal perlu terus digali agar tidak tercerabut dari akarnya. Pelestarian sejarah lokal bukan hanya tanggung jawab akademisi atau pemerintah, tetapi seluruh masyarakat. Memahami sejarah bukan untuk membuka luka lama, melainkan sebagai pijakan untuk masa depan yang lebih inklusif dan berakar pada identitas kita sendiri.

By Yudo Mahendro

Koordinator Provinsi Banten Masyarakat Perkotaan Indonesia. Konsultan Sosial dan Lingkungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *