Blandongan, Simbol Kota Tangerang Selatan yang Terlupakan

Di ujung selatan Jakarta, tepat di lekuk-lekuk kota satelit yang kian membengkak bernama Tangerang Selatan, ada sebuah cerita yang perlahan memudar—dilupakan beton, dikaburkan aspal, disembunyikan deret-deret ruko dan pagar-pagar perumahan modern. Cerita itu bernama blandongan—sebuah teras terbuka, tempat yang awalnya menjadi muara bagi segala kehidupan warga—yang kemudian menjadi inspirasi lambang kota Tangerang Selatan—kini nyaris tinggal kenangan.

Tangerang Selatan, tak seperti dua saudaranya—Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang—memiliki komposisi etnis yang unik. Jika yang lain plural dan penuh ragam, Tangsel justru didominasi oleh satu etnis: Betawi. Namun, secara kultural, masyarakat Betawi di Tangsel memiliki perbedaan dengan etnis Betawi yang dikenal luas. Mereka mengidentifikasi diri dengan sebutan “Betawi Ora” sebagai pembeda dari Betawi arus utama yang berada di wilayah Jakarta.

Betawi Ora merujuk pada kelompok Betawi yang tinggal di luar wilayah Ommelanden Batavia. Hal ini berkaitan dengan latar historis wilayah Tangerang yang kala itu menjadi perbatasan antara Kesultanan Banten dan VOC (Batavia). Bahkan, kata “Tangerang” sendiri berasal dari bahasa Sunda yang berarti “tanda”, merujuk pada penanda batas kedua kekuasaan tersebut. Dengan posisi geografis dan historis tersebut, masyarakat Betawi Ora mengalami peminggiran, baik secara spasial maupun kultural.

Masyarakat Betawi Ora pun mengembangkan budaya yang berbeda, termasuk dalam aspek arsitektur rumah. Salah satu perbedaan mencolok terlihat pada bagian teras rumah yang disebut blandongan.

Blandongan adalah bagian depan rumah masyarakat Betawi Ora, berupa bangunan terbuka tanpa dinding yang ditopang oleh tiang-tiang di sekelilingnya. Pada tahun 2012, Ratu Arum Kusumawardhani dari Universitas Indonesia melakukan penelitian mengenai aspek arsitektur blandongan. Penelitian ini mengungkapkan keautentikan blandongan di antara keragaman budaya Betawi di wilayah Jabodetabek.

“Blandongan kalau dulu itu biasanya dipakai untuk tempat naruh gendongan anak-anak supaya bisa diayun dan tidur di situ. Biasanya juga blandongan jadi tempat buat bikin dodol dan uli karena tempatnya luas.”

Seiring perubahan fungsi lahan akibat semakin terhubungnya Tangsel dengan Jakarta, wilayah ini menjadi kota penyangga, terutama sebagai kawasan hunian. Akibatnya, keberadaan blandongan kian menyusut, bahkan nyaris punah.

Kampung Bulak di Kelurahan Benda Baru, Kecamatan Pamulang, menjadi salah satu wilayah yang masih memiliki rumah dengan blandongan. Kampung ini terletak di antara perumahan Vila Dago dan Kompleks Pamulang Dua, dan masih menunjukkan sistem tata ruang khas Betawi Ora, termasuk arsitektur rumahnya. Selain di Benda Baru, menurut Kusumawardhani, keberadaan blandongan juga masih dapat ditemukan di Parung Beunyin dan Kampung Jati.

Keluarga Bapak Haji Sanan di Kampung Bulak, misalnya, masih mempertahankan blandongan sebagai bagian integral rumah mereka. Blandongan tampak menyatu dengan bangunan rumah bergaya Betawi lama, lengkap dengan jendela kayu dan anyaman bambu sebagai dinding. Bagi masyarakat Betawi Ora, blandongan memiliki banyak fungsi. Sebagai teras rumah, blandongan menjadi tempat utama menerima tamu. Di dalamnya biasanya terdapat bale (balai) untuk duduk santai dan beraktivitas sehari-hari, seperti memasak, menjaga anak, hingga berbincang dengan tetangga.

“Blandongan kalau dulu itu biasanya dipakai untuk tempat naruh gendongan anak-anak supaya bisa diayun dan tidur di situ. Biasanya juga blandongan jadi tempat buat bikin dodol dan uli karena tempatnya luas,” ujar Sumirat, seorang pemuda setempat berusia 28 tahun.

Penjelasan ini sejalan dengan pendapat Kusumawardhani yang menyatakan bahwa blandongan merupakan zona publik dalam rumah Betawi Ora, sementara bagian dalam rumah merupakan zona privat. Oleh karena itu, aktivitas siang hari lebih banyak dilakukan di area blandongan.

Blandongan Rumah Betawi
Blandongan di Rumah Orang Betawi Ora, Kampung Bulak, Tangerang Selatan (foto: AYM).

Blandongan juga erat kaitannya dengan mata pencaharian masyarakat Betawi Ora yang mayoritas bertani dan berkebun. Blandongan menjadi ruang sentral untuk mempersiapkan masa tanam, merawat, dan memanen hasil kebun. Rumah masyarakat Betawi Ora umumnya dibangun tak jauh dari kebun mereka sehingga aktivitas pertanian bisa dilakukan dengan mudah.

Wilayah Tangsel merupakan daerah perkebunan, baik pada masa tanah partikelir (tanah sewa milik swasta) maupun perkebunan karet yang bertahan hingga pertengahan 1990-an. Saat ini, di Benda Baru, sebagian warga masih berkebun tanaman pangan dan bunga anggrek untuk menyambung hidup, meskipun aktivitas ini semakin tergerus oleh alih fungsi lahan menjadi perumahan.

Keberadaan blandongan menjadi bukti bahwa masyarakat Betawi Ora merupakan entitas budaya tersendiri yang berbeda dari etnis Betawi pada umumnya. Pemerintah Kota Tangerang Selatan sebenarnya telah menyadari hal ini, sebagaimana dibuktikan dengan menjadikan blandongan sebagai simbol resmi kota. Sayangnya, hingga kini belum ada upaya nyata dari pemerintah daerah untuk melestarikan warisan budaya penting ini di tengah ancaman kepunahan yang semakin nyata.

By Yudo Mahendro

Koordinator Provinsi Banten Masyarakat Perkotaan Indonesia. Konsultan Sosial dan Lingkungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *